Artinya: "silsilah para perawi yang menukilkan hadits dari sumbernya yang pertama[4] . Sedangkan menurut istilah menurut Mahmud Tahhan adalah "suatu kalimat tempat berakhirnya sanad", ada juga yang menyebutkan bahwa matan adalah lafazh-lafazh hadits yang didalamnya mengandung makna-makna tertentu 4. Jelaskan Keadaan Hadis Pada Masa Sebelum Dibukukan
Ilustrasi Hikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air Wudhu, Foto Unsplash David BeckerHadits yang Melarang untuk Berlebihan dalam Menggunakan Air WudhuIlustrasi Hikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air Wudhu, Foto Unsplash J KHikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air WudhuIlustrasi Hikmah yang Terkandung dalam Hadis yang Melarang Kita Berlebihan dalam Menggunakan Air Wudhu, Foto Unsplash Jong Marshes
IlmuHadits mengalami perkembangan yang sangat luar biasa pada awal-awal abad ke-3 Hijriah. Sayangnya, perkembangan itu masih berkutat pada upaya untuk mengetahui Hadis yang bisa diterima (al-maqbul) dan Hadis yang tertolak (al-mardud). Karenanya, pembahasan seputar periwayat (al-rawi) dan Hadis yang diriwayatkan (al-marwi) selalu diacuTahukah Antum Umma’ Selleng ! Hadits yang Tertolak karena Gugur dari Sanadnya Yang dimaksud dengan hadits yang tertolak karena gugur dari sanadnya adalah; terputusnya rantai sanad dengan gugurnya seorang perawi atau lebih baik disengaja oleh sebagian perawi atau tidak disengaja, gugurnya tersebut baik secara transparan maupun tersembunyi. Yang masuk kategori hadits yang tertolak karena gugurnya perawi dari sanad adalah sebagai berikut Mu’allaq Hadits yang sanadnya terbuang dari awal sanadnya, satu orang rawi atau lebih secara berturut-turut, bahkan sekalipun terbuang semuanya. Gambarannya adalah semua sanad dibuang kemudian dikatakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda. Mursal Hadits yang sanadnya terbuang dari akhir sanadnya, sebelum tabi’in. Gambarannya, adalah apabila seorang tabi’in mengatakan, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, …” atau “Adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melakukan ini dan itu …”. Mu’dlal Hadits yang sanadnya ada dua orang rawi atau lebih yang gugur secara berturut-turut. Sedangkan I’dhal sendiri adalah terputusnya rangkaian sanad hadits, dua orang atau lebih secara berurutan. Mungqati’ Hadits yang di tengah sanadnya terdapat perawi yang gugur, satu orang atau lebih, secara tidak berurutan. Mudallas Tadlis Menyembunyikan cela cacat yang terdapat di dalam sanad hadits, dan membaguskannya secara zahir. Tadlis at-Taswiyah ialah, seorang rawi meriwayatkan suatu hadits dari seorang rawi yang dha’if, yang menjadi perantara antara dua orang rawi yang tsiqah, di mana kedua orang yang tsiqah tersebut pernah bertemu karena sempat hidup semasa, kemudian rawi yang melakukan tadlis disebut mudallis membuang atau menggugurkan rawi yang dha’if tersebut, dan menjadikan sanad hadits tersebut seakan antara dua orang yang tsiqah dan bersambung. Ini adalah jenis tadlis yang paling buruk. Mu’an’an perkataan seorang perawi “fulan dari fulan” An’anah adalah Menyampaikan hadits kepada rawi lain dengan lafazh عن dari yang mengisyaratkan bahwa dia tidak mendengar langsung dari syaikhnya. Ini menjadi illat suatu sanad hadits apabila digunakan oleh seorang rawi yang mudallis. Mu`annan perkataan seorang perawi “telah menceritakan kepada kami fulan, bahwa fulan berkata” Hadits yang tertolak karena terindikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi Adapun hadits yang tertolak disebabkan adanya indikasi cacat atau tertuduh pada diri seorang rawi ada ada sepuluh macam, lima berkaitan dengan al adalah dan lima berkaitan dengan hafalan. Adapun yang berkaitan dengan al adalah sebagai berikut Dusta / berbohong Tertuduh berbohong Fasik Bid’ah Jahalah tidak diketahui Sedangkan yang berkaitan dengan hafalan sebagai berikut Kesalahan yang parah Buruk hafalan Lalai Banyak terjadi kerancauan hafalan Menyelisihi orang-orang yang tsiqah Akibat sebab-sebab diatas berkolerasi kepada kedudukan hadits. Disini kami coba untuk mengurutkannya satu persatu. AL MAUDHU’ Hadits maudhu’/palsu Hadits maudhu’ ialah Hadits yang dipalsukan terhadap Nabi. Hukumnya tertolak dan tidak boleh disebutkan kecuali disertakan keterangan kemaudhu’annya sebagai larangan darinya. Metode membongkar kepalsuan hadits dengan cara sebagai berikut Pengakuan orang yang membuat hadits maudhu’. Bertentangan dengan akal, seperti mengandung dua hal yang saling bertentangan dalam hal bersamaan,menetapkan keberadaan yang mustahil atau menghilangkan keberadaan yang wajib, dll. Bertentangan dengan pengetahuan agama yang sudah pasti, seperti menggugurkan rukun dari rukun-rukun Islam atau menghalalkan riba’, membatasi waktu terjadinya kiamat atau adanya nabi setelah nabi Muhammad. Golongan pembuat hadits palsu Orang-orang yang termasuk pembuat hadits palsu sangat banyak dan tokohnya yang masyhur adalah Ishaq bin Najiih al Malathi. Ma’mun bin Ahmad al Harawi. Muhammad bin as Saaib al Kalbii. Al Mughirah bin Said al Kufi Muqathil bin Abi Sulaiman. Al Waqidi Ibnu Abi Yahya. Sedangkan golongan pencipta hadits palsu diantaranya Az-Zanadiqah kaum zindik ialah orang-orang yang berusaha merusak aqidah kaum muslimin, memberangus Islam dan merubah hukum-hukumnya. Seperti Muhammad bin Said al Mashlub yang dibunuh oleh Abu Ja’far al Manshur ia memalsukan hadits atas nama Anas secara marfu’. Aku adalah penutup para nabi, tidak ada nabi setelah aku, kecuali kalau Allah berkehendak. Dan seperti Abdul Karim bin Abu al Aujaa’ yang dibunuh oleh salah seorang amir Abasyiah di Bashrah dan dia berkata ketika hendak dibunuh Aku telah palsukan kepadamu 4000 hadits, aku haramkan yang halal dan aku halalkan yang haram. Dan ada yang berkata bahwa kaum zindik telah membuat hadits palsu terhadap Rasulullah sebanyak hadits. Al-Mutazallif pencari muka/penjilat dihadapan para penguasa dan umara seperti Ghiyats bin Ibrahim, dia pernah datang kepada al Mahdi yang sedang bermain dengan burung dara lalu ia menceritan kepadanya hadits Amirul Mu’minin ia bawakan sanadnya sekaligus ia palsukan hadits terhadap nabi bahwasanya beliau bersabda “Tidak ada perlombaan atau permainan kecuali pada telapak kaki onta atau tombak atau telapak kaki kuda atau sayap burung dara” lalu al Mahdi berkata Aku telah membebani dia atas itu membuat Ghiyat bin Ibrahim berbuat dusta kepadaku untuk mencari muka. Pent. Kemudian dia al Mahdi menaruh burung dara tersebut dan menyuruh menyembelihnya. Al-Mutazallif dihadapan masyarakat dengan menyebutkan cerita-cerita yang aneh untuk targhib atau tarhib atau mencari harta atau kemuliaan jah seperti para pencerita hikayat yang berbicara dimasjid-masjid dan tempat-tempat keramaian dengan cerita-cerita yang memberikan kedahsyatan dari kisah-kisah yang aneh. Orang-orang yang terlalu bersemangat terhadap agama. Mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan-keutamaan Islam dan sarana yang menuju kepadanya dan hadits-hadits juhud terhadap dunia dengan tujuan agar manusia peduli terhadap agama dan juhud terhadap dunia. Seperti Abu Ashamah Nuh bin Abi Maryam Qadhi Marwi, ia membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan surat-surat al quran, surat demi surat dan ia berkata aku melihat manusia menjauhkan al quran dan sibuk terhadap fiqh Abu Hanifah dan Maghaazi bin Ishak oleh karena itu aku buat hadits palsu itu keutamaan hadits palsu. Orang-orang yang ta’ashub terhadap mazhab atau jalan atau negeri atau yang diikuti imam atau kabilah mereka membuat hadits-hadits palsu tentang keutamaan yang mereka ta’asubkan dan pujian terhadapnya. Seperti Maisarah bin Abdu Rabah yang mengaku telah membuat hadits palsu terhadap nabi r sebanyak 70 hadits tentang keutamaan Ali bin Abu Thalib. Al Matruk Hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang tertuduh sebagai pendusta. Al Munkar Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang dha’if dan riwayatnya bertentangan de-ngan riwayat para rawi yang tsiqah. Perbedaan antara Syadz dengan munkar adalah; syadz diriwayatkan oleh seorang perawi yang maqbul sedangkan munkar diriwayatkan oleh seorang perawi dla’if. Al Mu’allal Hadits yang ditemukan illat di dalamnya yang membuat cacat keshahihan hadits tersebut, meskipun pada dzahirnya terlihat selamat. Al Mudraj Hadits yang di dalamnya terdapat tambahan yang bukan darinya, baik dalam matan atau sanadnya. Sementara idraj sendiri itu bermakna tambahan sisipan pada matan atau sanad hadits, yang bukan darinya. Al Maqlub mengganti satu lafadz dengan lafadz lain di dalam sanad sebuah hadits atau matannya, dengan cara mendahulukannya atau mengakhirkanya. Al Mudhtharib Hadits yang diriwayatkan dari seorang rawi atau lebih dalam berbagai versi riwayat yang berbeda-beda, yang tidak dapat ditarjih dan tidak mungkin dipertemukan antara satu de-ngan lainnya. Mudhtharib goncang. Asy Syadz Hadits yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang pada hakikatnya kredibel, tetapi riwayatnya tersebut bertentangan dengan riwayat rawi yang lebih utama dan lebih kredibel dari diri-nya. Lawan dari syadz adalah rajih yang lebih kuat dan sering diistilahkan dengan mahfuzh terjaga. Jahalah bi arruwwah Tidak diketahui secara pasti, yang berkaitan dengan identitas dan jati diri seorang rawi. Adapun klasifikasi majhul ada tiga, yaitu Majhul al-’Adalah Tidak diketahui kredibelitasnya. Majhul al-’Ain Tidak diketahui identitasnya. Yaitu rawi yang tidak dikenal menuntut ilmu dan tidak dikenal oleh para ulama, bahkan termasuk di dalamnya adalah perawi yang tidak dikenal memiliki hadits kecuali dari seorang perawi. Majhul al-Hal Tidak diketahui jati dirinya. Bid’ah mengada-adakan suatu perkara yang tidak ada asalnya dalam syariat. Adapun yang memiliki bukti dari syariat maka bukan bidah walaupun bisa dikatakan bidah secara bahasa. Bid’ah di golongkan menjadi dua golongan; 1. Bid’ah yang membuat kafir 2. Bid’ah yang membuat fasik Buruk hafalan sisi salahnya lebih kuat ketimbang sisi benarnya dalam meriwayatkan sebuah hadits. FaidahHadits Hadits di atas memberikan pelajaran kepada kita, diantaranya: Segala macam bid'ah di dalam agama -yang memang tidak dilandasi dalil al-Kitab maupun as-Sunnah- adalah tertolak, baik dalam hal keyakinan maupun amal ibadah. Pelakunya mendapatkan celaan sekadar dengan tingkat bid'ah dan sejauh mana penyimpangan mereka dari ajaran agama Mursal adalah hadits yang hilang atau tidak disebutkan perawi dari golongan sahabat. Ciri hadits mursal adalah sebuah hadits yang disampaikan oleh tabi’in baik tabi’in kecil maupun besar tanpa menyebutkan nama sahabat, dan langsung menyebut nama Rasulullah ada tabiin yang menyebutkan hadits langsung dari Rasul, maka hadits tersebut adalah hadits mursal karena secara teknis seorang tabi’in tidak akan mendapatkan hadits tanpa hadits mursal bisa kita lihat dalam Ṣaḥīḥ Muslim, dalam pembahasan jual-beli Kitābul Buyū’ berikutحدثني محمد بن رافع، ثنا حجين، ثنا الليث، عن عقيل، عن ابن شهاب عن سعيد بن مسيب أن رسول الله ﷺ نهى بيع عن المزابنةDalam hadits tersebut, Saʽid bin Musayyab adalah seorang tabi’in kabir, namun meriwayatkan langsung dari Rasulullah SAW. Padahal seorang tabi’in tidak mungkin bertemu dengan Rasul. Ia pasti mendengar hadits tersebut dari sahabat. Sayangnya, sahabat tersebut tidak hadits muʽallaq, mursal juga tergolong hadits yang tertolak mardūd karena hilangnya salah satu syarat hadits sahih, yakni ittiṣālus sanad tersambungnya sanad. Namun para ulama berbeda pendapat, karena yang hilang dari hadits mursal adalah rawi sahabat, sedangkan para sahabat sudah divonis adil sehingga tidak disebutkannya nama sahabat dalam sanad tersebut tidak menjadikan hadits tersebut dari itu, menyikapi hal ini, ulama terbagi menjadi tiga dhaif mardud pendapat ini dipegang teguh oleh para ahli ushul serta mayoritas ahli hadits. Alasannya, karena tidak diketahui ciri dan kredibilitas rawi yang dibuang, karena bisa jadi yang tidak disebutkan/dibuang tersebut adalah bukan golongan sahih dan bisa dijadikan argumentasi pendapat ini dianut oleh tiga ulama besar, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, dengan syarat, orang yang melakukan kemursalan mursil adalah orang yang tsiqqah kredibel. Pada prinsipnya, orang yang tsiqqah tidak akan dengan mudah menyebutkan hadits langsung dari Rasul, jika tidak melalui orang yang tsiqqah diterima dengan beberapa syarat pendapat ini diikuti oleh Imam As-Syafi’i dan beberapa tersebut adalah 1 orang yang memursalkan hadits mursil termasuk golongan tabi’in tua kibārut tabi’īn. 2 ketika mursil tersebut ditanya terkait nama perawi yang dibuang, ia menyebutkan nama orang yang tsiqqah. 3 riwayat rawi mursil tersebut tidak bertentangan dengan riwayat rawi lain yang terpercaya dan kuat hafalannya. Artinya, rawi mursil tersebut adalah rawi yang tsiqqah. 4 hadits tersebut memiliki jalur sanad yang berbeda. Jika sanad lain tersebut juga mursal, sanad tersebut bukan dari mursil yang sama. 5 Sesuai dengan kaul para sahabat. 6 Hadits tersebut digunakan sebagai hujjah oleh para ulama dalam fatwanya. Lihat Mahmūd At-ṭhaḥḥān, Taysīru Muṣṭalahil Ḥadīts, [Riyadh, Maktabah Maʽārif 2004 M], halaman 89-90.Selain mursal sebagaimana penjelasan di atas, dalam kategori pembagian mursal ini juga ada yang dinamakan dengan mursal sahabī. Mursal ini sebagaimana hadits mursal biasa, hanya saja pelaku mursil adalah seorang sahabat tersebut adalah sahabat kecil yang meriwayatkan hadits dari sahabat besar, namun ia tidak menyebutkan nama sahabat besar tersebut, dan langsung menyebutkan Rasulullah seperti mursal biasa, mursal sahabī ini tidak tergolong hadits yang tertolak, karena rawi yang dihilangkan bisa dipastikan sebagai sahabat. Wallahu a’lam.Ustadz Muhammad Alvin Nur Choironi, pegiat kajian tafsir dan hadits, alumnus Pesantren Luhur Darus Sunnah
Allahswt memerintahkan Rosul saw mengatakan kepada kuffar Quraisy, "Tidak mungkin aku menyembah berhala-berhala ini yang kalian sembah karena dia adalah batu yang tidak membawa kemudhoratan dan juga tidak bisa mendatangkan manfaat dan Allah swt tidak mungkin menerima dari kalian pernyembahan-Nya bersama berhala itu, karena Islam menyeru beribadah hanya kepada Allah saja dan tidak ada sekutuAl-Arba’un an-Nawawiyah, Hadis ke-05 مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ Siapa saja yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam urusan agama kami ini, yang bukan bagian darinya, maka tertolak HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah Hadis ini diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Ja’far al-Makhrami az-Zuhri dan Ibrahim bin Saad. Keduanya dari Saad bin Ibrahim bin Abdurrahman bin Auf, dari al-Qasim bin Muhammad, dari Aisyah ra. Hadis ini juga diriwayatkan dengan lafal مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا، فَهُوَ رَدٌّ Siapa saja yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan kami maka tertolak HR Ahmad, Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Ibn Majah, dll. Al-Muhdatsah adalah sesuatu yang diada-adakan, atau sesuatu yang baru, yang belum ada contoh sebelumnya. Lafal fî amrinâ maknanya adalah fî dîninâ di dalam agama kami. Kata radd[un] maknanya adalah mardûd[un] tertolak—dalam bentuk mashdar dalam makna maf’ûl; seperti kata khalq yang bermakna makhlûq yang diciptakan. Imam an-Nawawi memasukkannya di dalam Hadis Arba’in, hadis ke lima. Hadis ini mengandung kaidah induk dalam Islam. Ibn Rajab al-Hanbali di dalam Jâmi’ al-Ulûm wa al-Hikam menyatakan, “Hadis ini adalah salah satu pokok agung dari Islam. Ia merupakan neraca amal pada lahiriahnya; sebagaimana hadis “perbuatan itu bergantung pada niat” adalah neraca amal pada batinnya. Setiap amal yang tidak ditujukan meraih ridha Allah maka pelakunya tidak mendapat pahala sedikitpun. Demikian juga setiap amal yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dan Rasul-Nya adalah tertolak. Setiap hal baru dalam perkara agama ini yang tidak diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya bukanlah bagian dari agama sedikitpun tertolak. Manthûq kedua hadis ini menyatakan bahwa setiap hal baru dan setiap perbuatan yang menyalahi ketentuan Islam, yakni menyalahi syariah, adalah tertolak. Adapun dari mafhûm-nya bisa dipahami, bahwa amal dan hal baru yang tidak menyalahi—artinya yang sesuai dengan ketentuan Islam dan syariahnya—adalah diterima. Jadi makna hadis ini adalah bahwa siapa saja yang amal perbuatannya keluar dari syariah, tidak terikat dengan syariah, adalah tertolak. Hadis di atas menyatakan tidak semua hal yang baru tertolak. Karena hadis itu bukan hanya menyatakan man ahdatsa, tetapi melengkapinya dengan sifat mâ laysa minhu yang bukan bagian darinya. Jadi yang tertolak adalah hal baru apa saja—baik pendapat, ucapan atau perbuatan—yang menyalahi atau keluar dari koridor agama atau syariah. Sabda Nabi saw. laysa alayhi amrunâ mengindikasikan bahwa semua amal perbuatan seseorang harus berada dalam koridor hukum-hukum syariah dan hukum syariah menjadi pemutus atas amal perbuatannya itu melalui perintah dan larangannya. Jadi, siapa yang perbuatannya berjalan di bawah hukum-hukum syariah, sesuai dengan hukum-hukum syariah, adalah diterima. Sebaiknya, siapa yang perbuatannya keluar dari hal itu adalah tertolak. Dengan demikian, hadis ini menegaskan wajibnya terikat dengan syariah. Tentang perbuatan menyalahi perintah maka harus dilihat. Perintah syariah adakalanya disertai penjelasan tentang tatacara atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya kayfiyah al-adâ’, artinya kayfiyah al-adâ’-nya telah ditetapkan atau telah dibatasi. Contohnya shalat, haji, dan sebagian besar ibadah. Karena itu, melakukannya dengan tatacara yang berbeda, menyalahi dan keluar dari tatacara yang telah ditetapkan itu, adalah haram dan disebut telah melakukan bid’ah. Misalnya, bersujud tiga kali dalam satu rakaat, melempar jumrah sebanyak delapan kali, dan sebagainya. Inilah yang secara istilah disebut bid’ah, yaitu menyalahi tatacara syar’i yang telah dijelaskan oleh syariah dalam melaksanakan perintah syariah. Sebagian besar ibadah dijelaskan kayfiyah al-adâ’-nya. Adakalanya perintah bersifat umum atau mutlak tanpa disertai penjelasan kayfiyah al-adâ’-nya. Misal, Rasul memerintahkan agar melakukan transaksi salam dalam timbangan, takaran dan tempo yang jelas; menukarkan emas dengan emas dan perak dengan perak harus semisal dan sama; dsb. Namun, kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya tidak dijelaskan. Langkah-langkah melakukan transaksi itu—apakah harus berdiri, duduk, saling berjabat tangan, membaca ayat lebih dahulu, dsb—tidak dijelaskan. Misal lain, Rasul memerintahkan berdiri ketika ada jenazah lewat, tetapi bagaimana berdirinya tidak dijelaskan. Rasul juga memerintahkan untuk memilih istri/suami yang agamanya baik, tetapi beliau tidak menjelaskan bagaimana tatacara memilihnya. Dalam masalah muamalah kondisinya seperti ini, yakni tidak dijelaskan kayfiyah al-adâ’ atau langkah-langkah praktis pelaksanaannya. Perintah dalam masalah muamalah ini bersifat umum atau mutlak. Penyimpangan terhadap perintah syariah dalam masalah muamalah ini tidak disebut bid’ah. Akan tetapi, penyimpangan itu ada dalam cakupan hukum syariah. Jika berkaitan dengan hukum taklîfi maka disebut haram, makruh atau mubah. Tidak berdiri saat jenazah lewat tidak disebut bid’ah, tetapi dikatakan itu adalah mubah. Sebab, riwayat Imam Muslim menyatakan bahwa beliau tetap duduk ketika ada jenazah lewat. Seseorang yang tidak menutup auratnya di hadapan orang asing tidak dikatakan telah berbuat bid’ah, tetapi dikatakan telah melakukan keharaman. Jika penyimpangan itu dalam hukum wadh’i maka disebut batil atau fasad. Inilah yang berlaku dalam seluruh akad. Jika menyalahi ketentuan tentang pokok atau substansi akad misalnya menyalahi ketentuan ijab qabul, obyek akadnya tidak jelas majhûl atau yang berakad bukan orang yang berhak melakukannya, maka akadnya batil. Adapun jika penyimpangan itu bukan tentang pokok atau substansi akad, misal mahar tidak disebutkan dalam akad nikah, gaji belum disebutkan saat akad kerja, dsb, maka dikatakan akadnya fasad. Demikianlah seterusnya. Wallâhu a’lam. [Yahya Abdurrahman] CABANGCABANG ULUMUL HADIST Bayak sekali ilmu cabang ulumul hadis para ulama menghitung secara beragam. Ibnu Ash-Shalah menghitungnya 65 cabang bahkan ada yang menghitung hanya 10 hingga 6 cabang tergantung kepentingannya penghitung sendiri, ada yang menghitung secara terperinci dan ada yang menghitung secara global saja. cabang-cabang yang terpenting baik dilihat dari segi sanad atau matan